#

#
By I Nyoman Gede Maha Putra ST., MSc., Ph. D.
August 2, 2025
Pelestarian yang Dikooptasi: Arsitektur Bali di Bawah Bayang Kapital dan Negara
Gede Maha Putra
Pelestarian yang Dikooptasi: Arsitektur Bali di Bawah Bayang Kapital dan Negara
Tulisan ini, berawal dari pertanyaan-pertanyaan personal setelah mengamati perkembangan arsitektur yang terjadi di Bali, bermaksud mengkaji praktik pelestarian arsitektur tradisional Bali dalam konteks kontemporer dari sudut pandang logika kapital dan regulasi negara. Berangkat dari kritik terhadap narasi pelestarian yang diterima secara umum, esai ini menunjukkan bagaimana bentuk-bentuk arsitektur tradisional telah direduksi menjadi komoditas visual dalam proyek-proyek wisata dan properti. Tradisi tidak lagi dipertahankan karena nilai sosial atau spiritualnya, tetapi karena potensi estetikanya dalam menunjang akumulasi keuntungan. Negara, dalam hal ini, terlihat tidak netral: ia memproduksi regulasi yang justru berfungsi sebagai legitimasi politik untuk mendukung kepentingan pasar. Secara umum, ini adalah kelanjutan atau versi lebih kritis dari esai yang sempat saya publikasikan di media tatkala.co.
Dengan memanfaatkan kerangka teoritik Nezar AlSayyad tentang pos-tradisi dan pendekatan kritis terhadap vernakular dari Paul Memmott dan Marcel Vellinga, tulisan ini melihat ilusi pelestarian sebagai upaya etis dan menunjukkan bagaimana pelestarian sering kali berfungsi sebagai alat domestikasi nilai dan kontrol spasial. Saat pasar mulai meninggalkan eksotika tradisional, negara kehilangan daya atur, dan arsitek berada di posisi liminal antara profesionalisme teknokratik dan kompromi ideologis. Esai ini mengusulkan bahwa pelestarian yang bermakna harus dibebaskan dari logika estetika dan profit, dan dikembalikan pada kerja emansipatif yang menempatkan komunitas sebagai subjek produksi ruang. Sebuah usulan yang mungkin cukup naif di tengah gelombang pembangunan yang bersifat neoliberalistik.
Pariwisata dan Pelestarian Arsitektur Bali
Narasi pelestarian arsitektur tradisional di Bali kerap dibingkai dalam bahasa apresiasi budaya dan identitas lokal. Namun di balik retorika pelestarian itu, tersembunyi operasi kekuasaan yang lebih kompleks: bagaimana negara dan modal memobilisasi tradisi sebagai alat legitimasi dan akumulasi.
Sejak pertengahan abad ke-20, arsitektur tradisional tidak lagi semata-mata bagian dari sistem hidup masyarakat Bali, tetapi telah direproduksi sebagai komoditas simbolik dalam arena pertarungan ekonomi dan politik.
Kapital global, melalui industri pariwisata dan properti, menjadikan “arsitektur Bali” sebagai paket visual yang mudah dijual kepada pasar wisatawan kelas menengah ke atas. Elemen-elemen seperti candi bentar, angkul-angkul, dan ornamen tradisional bukan lagi bagian dari sistem kosmologi atau relasi komunal, tetapi direduksi menjadi gaya desain yang dapat dipindahkan, direplikasi, dan dekontekstualisasi. Di sisi lain, negara berlaku tidak netral dalam proses ini. Melalui regulasi tata ruang, manual desain, dan proyek pembangunan representatif, negara berperan aktif dalam mengarsipkan dan meng institusionalisasi bentuk-bentuk tertentu sebagai “arsitektur tradisional”, sekaligus menegasikan keberagaman praktik lokal dan dinamika ruang yang lebih cair. Yang terlihat dari upaya negara ini justru mengarah pada penyeragaman gaya arsitektur di atas pulau yang sesungguhnya tumbuh secara vernakular.
Dalam konfigurasi ini, tradisi menjadi instrumen politik dan ekonomi. Proyek-proyek pembangunan negara membutuhkan simbol yang dapat memberikan kesan “otentik” dan “berakar”, sementara kapital membutuhkan suasana yang eksotik namun bisa dinikmati dengan gaya hidup modern: AC, Sanitary mewah, dan seterusnya. Dengan kata lain, pelestarian bukanlah pelestarian dalam pengertian sosial dan kultural, melainkan suatu wujud strategi representasi, dimana yang terjadi adalah sebuah fabrikasi atas masa lalu untuk kepentingan kekuasaan hari ini.
Tulisan ini berangkat dari kegelisahan atas dominasi dua kekuatan tersebut dalam membentuk wajah arsitektur Bali. Dengan menggunakan kerangka Nezar AlSayyad tentang pos-tradisi dan pembacaan kritis terhadap vernakular dalam pemikiran Paul Memmott dan Marcel Vellinga, tulisan ini bertujuan memahami paradoks pelestarian bentuk, serta menawarkan cara berpikir yang lebih kontekstual dan etis dalam merancang ruang di tengah tekanan ekonomi-politik yang terus menguat.
Arsitektur Pos-Tradisi dan Komodifikasi Tradisi
Salah satu paradoks terbesar dalam wacana pelestarian arsitektur Bali adalah bagaimana “tradisi” justru menjadi sarana efektif untuk ekspansi kapital. Dalam lanskap ekonomi-politik kontemporer, bentuk-bentuk tradisional tidak lagi menjadi milik komunitas yang menghidupinya, melainkan berubah menjadi properti simbolik yang dapat diekstraksi, dikurasi, dan diperdagangkan. Proyek-proyek properti berskala besar seperti resort, villa, dan penginapan-penginapan, mengadopsi estetika arsitektur Bali bukan karena menghormati nilai-nilai lokal, tetapi karena nilai jualnya tinggi dalam pasar global yang menginginkan kesan “spiritual”, “alami”, dan “otentik”.
Kapital bukan hanya mengambil manfaat dari tradisi; ia turut aktif membentuk narasi dan aturan main. Melalui berbagai cara, dari lobi-lobi informal hingga perumusan skema perizinan yang “memfasilitasi kearifan lokal”, pemodal memberi tekanan agar negara tidak sekdar membiarkan eksotika Bali bertahan, tetapi menggunakannya secara struktural. Dalam konteks ini, regulasi negara terhadap arsitektur tradisional bukanlah tindakan pelestarian dalam pengertian kultural, melainkan bentuk intervensi diplomatik yang melayani logika akumulasi keuntungan.
Harus diakui bahwa dalam beberapa kasus, regulasi semacam itu, seperti perda tentang arsitektur tradisional atau pedoman bentuk atap dan fasad Bali, didorong oleh niat untuk memperpanjang nafas tradisi di tengah gempuran pembangunan modern. Namun dalam praktiknya, regulasi ini seringkali tidak dijalankan sebagai instrumen perlindungan nilai, melainkan sebagai mekanisme administratif yang berfungsi untuk meloloskan perizinan. Arsitektur “Bali” menjadi semacam stempel kultural yang, sekali dicantumkan pada gambar kerja atau proposal investasi, dapat memuluskan proyek di mata aparat dan masyarakat.
Dengan demikian, pelestarian tidak lagi menjadi upaya merawat relasi sosial dan makna simbolik, tetapi dipakai sebagai alat legitimasi spasial. Wujud tradisional yang direproduksi dalam proyek-proyek tersebut lebih berperan sebagai pemanis naratif yang menenangkan kritik, sekaligus menyamarkan dominasi modal atas ruang-ruang lokal. Di sini, “arsitektur tradisional” kehilangan kedalaman praktiknya dan menjadi sekadar retorika visual yang melayani sistem persetujuan administratif.
Nezar AlSayyad (2004) menyebut kondisi ini sebagai fase “akhir dari tradisi”, saat warisan budaya bertransformasi menjadi format visual yang direproduksi demi konsumsi. Lebih dari itu, ini adalah bentuk represi epistemik: variasi lokal, improvisasi komunitas, dan dinamika perubahan disingkirkan demi mempertahankan satu versi “tradisi” yang kompatibel dengan logika pasar dan legitimasi negara. Ini nampak jelas dalam wujud keseragaman bentuk dan ornamentasi balai banjar di suatu kabupaten, misalnya.
Negara dan kapital dalam hal ini saling menguatkan. Negara membutuhkan simbol-simbol tradisional untuk membangun citra stabil dan berakar, baik dalam proyek identitas budaya maupun dalam diplomasi investasi internasional.
Kapital, pada gilirannya, membutuhkan regulasi yang menyediakan legitimasi spasial dan estetika untuk mengamankan akumulasi. Maka terjadi simbiosis: kapital memperoleh jaminan hukum dan citra lokalitas, sementara negara mendapatkan pembenaran kultural atas ekspansi spasial dan ekonomi. Tradisi, dalam proses ini, kehilangan otonominya sebagai sistem pengetahuan yang hidup; ia diposisikan sebagai teknologi simbolik yang siap pakai, fleksibel namun hampa.
Dalam konteks ini, pelestarian menjadi bentuk performatif. Ia tampil di permukaan sebagai niat baik, tetapi bekerja di kedalaman sebagai alat governance. Ruang yang tampil tradisional belum tentu berpijak pada prinsip lokalitas; bisa jadi ia hanya berbusana lokal untuk memperlancar proses-proses yang lebih besar: akumulasi, disposesi, dan konversi fungsi ruang.
Tradisi sebagai Pilihan, Bukan Keperluan
Jika pada dekade-dekade sebelumnya citra tradisional menjadi primadona dalam strategi pemasaran wisata Bali, hari ini kita menyaksikan tanda-tanda kemunduran nilai jualnya di mata pasar global. Perubahan selera wisatawan, meningkatnya peran media sosial, dan komersialisasi pengalaman digital telah memunculkan model pariwisata baru yang tidak lagi menggantungkan dirinya pada imajinasi tentang “keaslian” budaya. Wisata kontemporer lebih menekankan pada lifestyle, Instagram Ability, wellness experience, dan eklektisisme gaya hidup global, semuanya dapat dihadirkan tanpa perlu merujuk pada nilai atau bentuk tradisi lokal.
Dalam kondisi ini, kapital tidak lagi memiliki motivasi yang kuat untuk merawat atau melestarikan arsitektur tradisional. Jika pada masa lalu estetika Bali menjadi nilai jual utama, hari ini pelestarian tradisi hanya akan dilakukan jika terbukti mampu menghasilkan return finansial yang lebih tinggi dibanding alternatif estetika lain. Tradisi menjadi opsional: ia bisa diadopsi, diabaikan, atau dikombinasikan dengan gaya tropical, industrial, bahkan kontemporer-minimalis, selama hasil akhirnya tetap menguntungkan secara finansial.
Kapital, sebagaimana dikemukakan dalam kritik ekonomi-politik ruang, selalu oportunis. Ia tidak terikat pada nilai, tetapi pada margin keuntungan. Maka ketika bentuk tradisional tidak lagi berfungsi sebagai alat diferensiasi atau tidak mampu menciptakan nilai tambah yang kompetitif, kapital akan beralih ke model pengalaman lain. Dalam banyak kasus, kita melihat bagaimana proyek-proyek hospitality hari ini tidak lagi bersusah payah mereproduksi angkul-angkul atau menggunakan material lokal, tetapi lebih memilih arsitektur kontemporer dengan narasi global: villa bambu futuristik, kubus beton monokromatik, atau bangunan modular yang diklaim “sustainable” tanpa akar lokal yang jelas.
Artinya, tradisi hari ini bukanlah keharusan; ia adalah opsi yang dinegosiasikan dalam logika kalkulatif. Keberadaannya di dalam proyek tidak didasarkan pada prinsip nilai atau etika pelestarian, tetapi pada sejauh mana ia masih relevan secara komersial. Dalam struktur logika ini, tradisi diperlakukan seperti fitur tambahan: jika berguna, digunakan; jika tidak, dihapus atau digantikan.
Kondisi ini mengafirmasi tesis Nezar AlSayyad bahwa tradisi telah kehilangan posisinya sebagai kerangka hidup, dan kini beroperasi sebagai salah satu dari banyak pilihan dalam katalog strategi kapital. Lebih dari itu, ini memperlihatkan betapa rentannya tradisi ketika dilepaskan dari komunitasnya sendiri dan digantungkan pada selera pasar.
Dalam situasi seperti ini, posisi negara sebagai pembuat regulasi pun menjadi dilematis. Peraturan-peraturan yang sebelumnya dibuat untuk “melestarikan” bentuk-bentuk arsitektur tradisional justru kehilangan daya atur karena tidak kompatibel dengan arah preferensi pasar yang berubah cepat. Ketika negara mencoba mempertahankan standar bentuk yang dianggap tradisional melalui perda atau pedoman teknis, regulasi tersebut seringkali tidak mampu lagi menahan laju inovasi desain yang didorong oleh pasar dan investor. Di satu sisi, pemerintah ingin mempertahankan citra kultural Bali; namun di sisi lain, mereka juga membutuhkan masuknya investasi dan pertumbuhan sektor pariwisata. Akibatnya, peraturan menjadi lemah secara implementasi. Ia mulai diabaikan, dinegosiasikan ulang, atau dimanipulasi sebagai formalitas untuk meloloskan perizinan.
Dengan demikian, bukan hanya tradisi yang mengalami dekontekstualisasi, melainkan juga otoritas negara atas ruang yang terkikis. Ketika regulasi menjadi tidak relevan dengan arah transformasi pasar, maka pelestarian kehilangan basis pengaturannya. Negara tidak lagi mengatur kapital, tetapi justru menyesuaikan diri dengannya, serta dalam beberapa kasus, menjadi fasilitator dalam logika perputaran nilai, bukan penjamin nilai-nilai itu sendiri.
Implikasi bagi Praktik Arsitektur di Bali
Dalam lanskap arsitektur Bali kontemporer, para arsitek kini dihadapkan pada medan praktik yang ditentukan oleh dua kekuatan utama: logika kapital dan regulasi negara. Di satu sisi, kapital menginginkan bentuk-bentuk yang menjual; di sisi lain, negara menetapkan standar visual tertentu sebagai penanda lokalitas. Di tengah dua tekanan ini, arsitek sering kali dipaksa menjadi pelaksana estetika yang sudah ditentukan sebelumnya. Bisa jadi, para arsitek bertindak bukan sebagai agen budaya, melainkan sebagai penyedia jasa desain yang kompatibel dengan sistem izin dan strategi pasar.
Konsekuensinya adalah penyempitan ruang gerak: arsitektur tidak lagi dirancang untuk merespons kebutuhan sosial atau ekologis lokal, tetapi untuk memenuhi target investasi yang sudah disusun oleh investor dan ekspektasi simbolik yang telah dimodifikasi. Pelestarian berubah menjadi proyek estetisasi, di mana bentuk-bentuk tradisi direduksi menjadi elemen formal yang harus dipenuhi untuk mendapat “restu” birokrasi dan “apresiasi” konsumen wisata. Arsitek berada dalam posisi ambigu antara menjadi fasilitator pengulangan simbolik, atau mencoba menyusupkan makna dalam sistem yang telah didesain untuk produksi tanda, bukan nilai.
Di tengah situasi ini, pertanyaan mendasar yang perlu diajukan bukanlah “bagaimana merancang agar terlihat tradisional,” tetapi “untuk siapa dan dalam logika siapa desain ini dijalankan?” Kritik Paul Memmott terhadap praktik pelestarian bentuk tanpa sistem pengetahuan lokal menjadi sangat relevan: ketika desain tidak berakar pada praktik komunitas, maka ia hanya menjadi bentuk hampa yang meniru, bukan menghidupkan. Pendekatan partisipatif yang ia dorong bukanlah prosedural tetapi bersifat epistemik: melibatkan komunitas sebagai subjek pengetahuan dalam penciptaan ruang.
Institusi pendidikan arsitektur pun tidak bisa luput dari kritik. Sebagian besar kurikulum arsitektur di Bali maupun Indonesia masih berorientasi pada formalisme visual dan penyusunan dokumen teknis, sementara kajian tentang proses sosial, konflik ruang, relasi kuasa, dan sejarah produksi spasial kerap dipinggirkan. Marcel Vellinga (2013) menyoroti bahwa arsitektur vernakular seringkali dipelajari seperti artefak museum, bukan sebagai praktik hidup yang terkait dengan relasi sosial, ekonomi, dan lingkungan. Akibatnya, lulusan arsitektur cenderung melihat pelestarian sebagai teknik pengulangan bentuk, bukan sebagai kerja interpretasi yang kompleks dan reflektif.
Implikasi lainnya adalah krisis etika dalam profesi arsitek. Dalam struktur proyek hari ini, arsitek sering kali bekerja dalam sistem yang sudah ditentukan oleh investor, pengembang, atau aturan teknokratis negara. Posisi arsitek sebagai “ahli” tidak selalu berarti ia memiliki kuasa menentukan arah desain, tetapi justru bisa menjadi pelaksana kehendak pasar dalam bungkus keahlian profesional. Jika arsitek tidak mampu menegosiasikan posisi etikanya, maka peran mereka akan merosot menjadi tukang gambar untuk proyek yang bertujuan akumulasi, bukan transformasi sosial.
Dalam konteks ini, membicarakan “pelestarian” tanpa membongkar struktur kuasa di balik praktik arsitektur bisa menjadi naif. Pertanyaannya bukan lagi sekadar “bagaimana melibatkan masyarakat,” tetapi bagaimana menggeser logika desain dari representasi ke emansipasi. Ini berarti mendekonstruksi narasi estetika dominan, membuka ruang bagi pluralitas bentuk, dan mendesain dengan kesadaran penuh terhadap siapa yang diuntungkan dan siapa yang dikeluarkan oleh suatu proyek.
Dengan demikian, praktek arsitektur di Bali tidak bisa hanya mengandalkan integrasi bentuk tradisional atau teknologi hijau sebagai tanda etis. Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk merancang secara kritis: menghadapi pasar, mengkritisi negara, dan bersekutu dengan komunitas.
Penutup
Arsitektur Bali kontemporer, yang selama ini dipromosikan sebagai bentuk keberhasilan pelestarian tradisi, dalam kenyataannya beroperasi dalam medan kekuasaan yang tidak netral. Di balik estetika eksotik dan narasi pelestarian, berlangsung proses reproduksi dominasi yang melibatkan modal, negara, dan institusi-institusi profesional. Tradisi yang semestinya menjadi sistem nilai dan praktik hidup kini direduksi menjadi gaya visual: dipilih jika menguntungkan, ditinggalkan jika tidak relevan dengan kalkulasi pasar.
Kapital tidak lagi membutuhkan tradisi sebagai satu-satunya penghasil pengalaman wisata. Dengan semakin fleksibelnya selera pasar, kapital mampu menciptakan pengalaman-pengalaman baru yang tidak lagi memerlukan legitimasi bentuk lokal. Negara, yang semula memposisikan diri sebagai penjaga warisan, kini menghadapi dilema: regulasi pelestarian yang mereka buat kehilangan daya atur ketika tidak lagi kompatibel dengan logika produksi ruang yang dikendalikan oleh pasar.
Dalam medan seperti ini, arsitek tidak lagi cukup dengan menjadi desainer estetika atau teknolog ruang. Mereka harus menjadi pembaca medan konflik: mampu mengenali siapa yang menentukan bentuk, siapa yang diuntungkan, dan siapa yang dilupakan. Pelestarian yang bermakna tidak mungkin lahir dari posisi netral atau teknis; ia harus berangkat dari sikap politik yang menyadari bahwa ruang adalah arena perebutan makna dan hak hidup.
Arsitektur Bali tidak akan “diselamatkan” oleh pedoman bentuk, perda simbolik, atau katalog elemen tradisional. Ia hanya akan hidup jika para pelakunya, dari arsitek hingga pendidik, dari pejabat hingga komunitas, berani menggugat narasi dominan dan mengembalikan arsitektur pada fungsi dasarnya: menciptakan ruang bagi kehidupan, bukan sekadar ruang untuk dikagumi. Pelestarian sejati bukanlah pelestarian bentuk, tetapi perlawanan terhadap pengabaian, pengabaian terhadap makna, terhadap proses, dan terhadap relasi sosial yang selama ini dijalankan dalam senyap oleh mereka yang tak punya kuasa mengatur citra, tapi tahu bagaimana merawat kehidupan.
Daftar Pustaka
AlSayyad, N. (2004). The end of tradition? Routledge.
AlSayyad, N. (Ed.). (2001). Consuming tradition, manufacturing heritage: Global norms and urban forms in the age of tourism. Routledge.
Memmott, P., Ting, J., O’Rourke, T., & Vellinga, M. (2023). Design and the vernacular: Interpretations for contemporary architectural practice and theory. Bloomsbury Publishing.
Picard, M. (1996). Bali: Cultural tourism and touristic culture. Archipelago Press.
Picard, M. (2020). Bali: Pariwisata budaya dan budaya pariwisata (Terj. Jean Couteau). Kepustakaan Populer Gramedia.
Vellinga, M. (2005). Anthropology and the challenges of sustainable architecture. Anthropology Today, 21(3), 3–5. https://doi.org/10.1111/j.0268-540X.2005.00352.x
Vellinga, M. (2007). The discipline of vernacular architecture. In L. Asquith & M. Vellinga (Eds.), Vernacular architecture in the twenty-first century: Theory, education and practice (pp. 108–127). Taylor & Francis.
Vellinga, M. (2013). The noble vernacular: Vernacular architecture and the geography of heritage. The Journal of Architecture, 18(4), 570–590. https://doi.org/10.1080/13602365.2013.821149
Vellinga, M. (2019). Re-imagining vernacularity: Vernacular architecture and the built environment. In L. Lozanovska (Ed.), Ethno-Architecture and the Politics of Migration (pp. 15–36). Routledge.