#

#
By Dr. Desak Ketut Tristiana Sukmadewi, S.Si., M.Si
April 29, 2025
Dampak Pengelolaan Lahan Pertanian Terhadap Kesuburan Tanah Dalam Sistem Agroforestri di Bali
Perluasan dan intensifikasi lahan pertanian di daerah tropis menimbulkan kekhawatiran terhadap keberlanjutan lingkungan, terutama terkait kesuburan tanah. Penelitian di Bali, Indonesia, pada dua sistem agroforestri (rustik dan polikultur) menunjukkan bahwa faktor seperti tutupan kanopi, kekayaan tanaman dan pohon, serta hasil panen memengaruhi sifat tanah, termasuk rasio C:N, karbon organik, fosfor, dan total mikroba. Sistem rustik memiliki kandungan karbon organik dan mikroba lebih tinggi serta fosfor lebih rendah dibanding polikultur, yang menunjukkan potensi sistem rustik dalam menjaga kesuburan tanah. Keanekaragaman tanaman dan pohon berperan penting meningkatkan kesuburan tanah melalui peningkatan mikroba dan konduktivitas listrik. Oleh karena itu, agroforestri menjadi alternatif penting untuk menjaga kesuburan tanah dan ketahanan pangan di tengah tantangan intensifikasi pertanian global.
Geologi dan Karakteristik Tanah Wilayah Penelitian
Pulau Bali, provinsi terkecil di Indonesia dengan luas 5.577 km² dan populasi sekitar 4,4 juta jiwa, memiliki ekonomi yang didominasi oleh pariwisata, namun pertanian tetap menjadi sumber mata pencaharian penting di wilayah pedesaan. Bali memiliki berbagai jenis tanah, terutama tanah vulkanik Kuarter dan Tersier Akhir, yang di bagian utara bercampur dengan material kapur dari terumbu karang purba, sementara bagian selatan didominasi batu gamping dan batuan sedimen. Geologi Bali juga mencakup pegunungan tengah dengan dua gunung berapi utama, Gunung Batukaru dan Gunung Agung, serta kaldera vulkanik yang menjadi sumber irigasi. Wilayah Jembrana di barat Bali, lokasi penelitian ini, memiliki kombinasi batuan aluvial, konglomerat, batu pasir, terumbu purba, dan batu kapur (Formasi Palasari), serta tanah vulkanik (Vulkanik Jembrana dan Pulari). Akuifer di Jembrana memiliki porositas rendah dengan aliran air permukaan yang cepat.
Tanah di Bali umumnya bertekstur sedang, dengan tekstur halus atau kasar hanya ditemukan di bagian selatan paling ujung dan pulau-pulau kecil sekitarnya. Wilayah Jembrana memiliki berbagai jenis tanah, terutama Brown Latosol dan Litosol yang rentan erosi, serta tanah aluvial Abu-Abu Cokelat di dataran rendah selatan. Di beberapa bagian juga terdapat tanah Mediteran Cokelat. Latosol adalah tanah matang dengan pH 5,5–6,5, tekstur halus-sedang, permeabilitas dalam, dan kesuburan rendah-sedang. Regosol, banyak ditemukan di timur dan tenggara Bali, kaya fosfor dan kalium, miskin nitrogen, pH 6,0–7,0, tetapi cenderung padat dan drainase rendah seiring waktu. Tanah Mediteran Cokelat bersifat sangat lapuk, pH 5,5–8,0, sangat permeabel, dan kesuburan sedang. Tanah aluvial merupakan tanah termuda dengan sifat yang tergantung pada asal-usul material pembentuknya.
Pulau Bali, provinsi terkecil di Indonesia dengan luas 5.577 km² dan populasi sekitar 4,4 juta jiwa, memiliki ekonomi yang didominasi oleh pariwisata, namun pertanian tetap menjadi sumber mata pencaharian penting di wilayah pedesaan. Bali memiliki berbagai jenis tanah, terutama tanah vulkanik Kuarter dan Tersier Akhir, yang di bagian utara bercampur dengan material kapur dari terumbu karang purba, sementara bagian selatan didominasi batu gamping dan batuan sedimen. Geologi Bali juga mencakup pegunungan tengah dengan dua gunung berapi utama, Gunung Batukaru dan Gunung Agung, serta kaldera vulkanik yang menjadi sumber irigasi. Wilayah Jembrana di barat Bali, lokasi penelitian ini, memiliki kombinasi batuan aluvial, konglomerat, batu pasir, terumbu purba, dan batu kapur (Formasi Palasari), serta tanah vulkanik (Vulkanik Jembrana dan Pulari). Akuifer di Jembrana memiliki porositas rendah dengan aliran air permukaan yang cepat.
Tanah di Bali umumnya bertekstur sedang, dengan tekstur halus atau kasar hanya ditemukan di bagian selatan paling ujung dan pulau-pulau kecil sekitarnya. Wilayah Jembrana memiliki berbagai jenis tanah, terutama Brown Latosol dan Litosol yang rentan erosi, serta tanah aluvial Abu-Abu Cokelat di dataran rendah selatan. Di beberapa bagian juga terdapat tanah Mediteran Cokelat. Latosol adalah tanah matang dengan pH 5,5–6,5, tekstur halus-sedang, permeabilitas dalam, dan kesuburan rendah-sedang. Regosol, banyak ditemukan di timur dan tenggara Bali, kaya fosfor dan kalium, miskin nitrogen, pH 6,0–7,0, tetapi cenderung padat dan drainase rendah seiring waktu. Tanah Mediteran Cokelat bersifat sangat lapuk, pH 5,5–8,0, sangat permeabel, dan kesuburan sedang. Tanah aluvial merupakan tanah termuda dengan sifat yang tergantung pada asal-usul material pembentuknya.
Pulau Bali, provinsi terkecil di Indonesia dengan luas 5.577 km² dan populasi sekitar 4,4 juta jiwa, memiliki ekonomi yang didominasi oleh pariwisata, namun pertanian tetap menjadi sumber mata pencaharian penting di wilayah pedesaan. Bali memiliki berbagai jenis tanah, terutama tanah vulkanik Kuarter dan Tersier Akhir, yang di bagian utara bercampur dengan material kapur dari terumbu karang purba, sementara bagian selatan didominasi batu gamping dan batuan sedimen. Geologi Bali juga mencakup pegunungan tengah dengan dua gunung berapi utama, Gunung Batukaru dan Gunung Agung, serta kaldera vulkanik yang menjadi sumber irigasi. Wilayah Jembrana di barat Bali, lokasi penelitian ini, memiliki kombinasi batuan aluvial, konglomerat, batu pasir, terumbu purba, dan batu kapur (Formasi Palasari), serta tanah vulkanik (Vulkanik Jembrana dan Pulari). Akuifer di Jembrana memiliki porositas rendah dengan aliran air permukaan yang cepat.
Tanah di Bali umumnya bertekstur sedang, dengan tekstur halus atau kasar hanya ditemukan di bagian selatan paling ujung dan pulau-pulau kecil sekitarnya. Wilayah Jembrana memiliki berbagai jenis tanah, terutama Brown Latosol dan Litosol yang rentan erosi, serta tanah aluvial Abu-Abu Cokelat di dataran rendah selatan. Di beberapa bagian juga terdapat tanah Mediteran Cokelat. Latosol adalah tanah matang dengan pH 5,5–6,5, tekstur halus-sedang, permeabilitas dalam, dan kesuburan rendah-sedang. Regosol, banyak ditemukan di timur dan tenggara Bali, kaya fosfor dan kalium, miskin nitrogen, pH 6,0–7,0, tetapi cenderung padat dan drainase rendah seiring waktu. Tanah Mediteran Cokelat bersifat sangat lapuk, pH 5,5–8,0, sangat permeabel, dan kesuburan sedang. Tanah aluvial merupakan tanah termuda dengan sifat yang tergantung pada asal-usul material pembentuknya.
Hidrologi dan Curah Hujan
Wilayah studi memiliki curah hujan tahunan sebesar 1.010 mm, dengan musim hujan dari Oktober hingga April dan musim kemarau dari Mei hingga September. Di daerah seperti Jembrana yang lembap sepanjang tahun, pelapukan tanah berlangsung terus-menerus sehingga mineral terlarut tercuci, menghasilkan tanah kaolinitik asam yang miskin hara dan hanya subur karena humus dan serasah daun. Namun, tanah-tanah muda di daerah perbukitan masih mampu menahan air dan memiliki kandungan hara lebih tinggi, sehingga berpotensi produktif.
Jembrana memiliki 40 sungai, tetapi sebagian besar pendek (kurang dari 10 km), dengan hanya sembilan sungai yang memiliki panjang 20 km atau lebih. Namun, bahkan sungai terpanjang seperti Tukad Biluk Poh (29 km) dan Tukad Sangiang Gede (25 km) tergolong pendek [35]. Dalam siklus karbon, sungai-sungai tropis berperan penting sebagai penggerak utama pengangkutan karbon anorganik dan organik ke dataran pesisir dan laut. Sungai dan aliran air tropis ini juga berperan penting dalam siklus karbon global, menjadi jalur utama perpindahan bahan organik dan nutrisi dari padang lamun, terumbu karang, hutan bakau, dan muara
Metodologi Pengumpulan Data dan Karakteristik Lahan
Data dikumpulkan dari Mei hingga Agustus 2023 di Yeh Embang Kauh, Jembrana, Bali, pada sistem polikultur dan rustic yang dikelola Kelompok Tani Hutan (KTH) untuk konsumsi lokal dan komersial. Lahan polikultur dekat pemukiman, sementara lahan rustic berada di hutan produksi dengan izin KPH Bali Barat. Tanaman rustic meliputi kopi, kakao, vanili, durian, pisang, pala Siaw, dan cengkeh, sedangkan polikultur ditanami cengkeh, kelapa, kakao, dan kopi. Sebanyak 47 petak (26 rustic, 21 polikultur) berukuran 25 × 25 m² dipilih berdasarkan pengetahuan lokal dan mengikuti jalur yang ada karena kondisi curam, dengan ketinggian 229–439 m.dpl (rata-rata 299 m.dpl) dan jarak antar petak minimal 50 m. Petak rustic menggabungkan tanaman budidaya dan pohon hutan asli, sementara petak polikultur hanya tanaman budidaya; lima petak di hutan produksi dikategorikan polikultur karena sudah tidak ditumbuhi pohon hutan asli.
Untuk mengukur tingkat naungan (shade cover), digunakan aplikasi Canopeo dengan empat foto acak per petak yang kemudian dirata-ratakan, menjaga jarak minimal 5 m antar titik foto dan dari tepi petak. Pengukuran ini menghindari bias dengan tidak menghitung naungan dari kanopi bawah seperti daun pisang. Selain itu, dicatat jumlah kekayaan spesies tanaman budidaya (kekayaan tanaman) dan pohon (kekayaan pohon) di setiap petak. Selanjutnya, berdasarkan pengetahuan lokal, diperkirakan produktivitas per tanaman per tahun, total hasil panen tiap jenis tanaman per petak, serta produktivitas total tiap petak.
Dampak Praktik Pertanian terhadap Tanah
Penelitian ini bertujuan menilai pengaruh praktik pertanian terhadap kualitas tanah dan komunitas mikroba. Hasil analisis menunjukkan bahwa sistem agroforestri rustic memiliki kandungan karbon organik dan rasio C:N lebih tinggi, tetapi fosfor lebih rendah dibandingkan polikultur, menandakan potensi peningkatan kesuburan tanah dengan input minimal. Penutupan tajuk, kekayaan tanaman, dan kekayaan pohon meningkatkan jumlah mikroba dan konduktivitas tanah, menegaskan pentingnya keanekaragaman hayati untuk menjaga kesuburan. Namun, hasil panen yang tinggi justru berhubungan negatif dengan beberapa indikator kesuburan tanah, sehingga perlu keseimbangan antara produktivitas dan kesehatan tanah. Di lapisan tanah bawah, pola serupa teramati, dengan berbagai faktor seperti tajuk dan kekayaan tanaman mempengaruhi sifat tanah. Selain itu, data pembanding dari studi global menunjukkan bahwa sistem agroforestri organik dapat mendukung kualitas tanah yang lebih baik, memperkuat pentingnya pengelolaan lahan berkelanjutan.
Pentingnya Agroforestri untuk Kesuburan Tanah dan Ketahanan Pangan
Penelitian ini menunjukkan bahwa sistem agroforestri, seperti di Yeh Embang Kauh, berperan penting dalam meningkatkan kesuburan tanah, mendukung kesejahteraan petani, dan melestarikan keanekaragaman hayati. Sistem rustic, dengan tutupan tajuk pohon yang tinggi, terbukti meningkatkan jumlah mikroba tanah dan menciptakan kondisi yang mendukung kesuburan. Keanekaragaman tanaman dan pohon juga berkontribusi positif terhadap kesehatan tanah, menegaskan pentingnya pertanian yang beragam. Agroforestri tidak hanya meningkatkan produktivitas lahan tanpa ketergantungan pada pupuk kimia, tetapi juga memperkuat ketahanan ekosistem terhadap perubahan iklim melalui penyerapan karbon dan penciptaan iklim mikro. Oleh karena itu, agroforestri menjadi solusi penting untuk menjaga keberlanjutan tanah dan ketahanan pangan jangka panjang.
Berdasarkan Penelitian: Jessica Chavez, Vincent Nijman, Desak Ketut Tristianana Sukmadewi, Made Dwi Sadnyana, Sophie Manson, dan Marco Campera