#

#
By I Nyoman Gede Maha Putra ST., MSc., Ph. D.
July 17, 2025
Bali Dalam Jerat Kapitalisme Global
Pariwisata di Bali berawal dari Diplomasi Budaya menuju Mesin Akumulasi Modal
Belakangan ini, wacana pembangunan bandara internasional di Bali utara kembali muncul ke permukaan. Masyarakat menyambutnya dengan berbagai pandangan pro dan kontra. Bagi yang mendukung, kehadiran bandara dipandang sebagai jalan untuk membuat pembangunan, terutama pariwisata, di Bali selatan dan utara akan seimbang. Lebih lanjut, kelompok ini juga berpandangan bahwa kehadiran node transportasi baru ini bisa „membantu“ mengurangi tekanan pembangunan fisik yang terjadi di Bali selatan. Masyarakat yang kontra dengan pembangunan bandara melihat ini sebagai ancaman bagi Bali. Potensi alih fungsi lahan yang dapat menyebabkan kerusakan ekologis menjadi perhatian mereka. Selain itu, kemungkinan alih fungsi tersebut juga dianggap bisa meminggirkan masyarakat lokal, mengusirnya dari tanah yang sudah dihuni sejak masa para leluhur. Kelompok ini juga menyangsikan janji keuntungan ekonomi karena diduga hanya akan dinikmati oleh segelintir orang saja. Tulisan ini coba mengurai persoalan yang dihadapi Bali hari ini dengan pendekatan historis. Di bagian akhir, sitawarkan sebuah alternatif dalam bentuk imajinasi yang bisa kita kembangkan bersama tentang Bali.
Bali dan Pariwisata
Pariwisata memang tidak bisa dipungkiri merupakan magnet investasi utama di Bali. Mantranya telah membius banyak orang untuk percaya bahwa bisnis ini akan membawa kesejahteraan mutlak bagi masyarakat Bali. Barangsiapa yang menolak maka dianggap tidak pro pembangunan. Pariwisata sendiri punya sejarah panjang di pulau seribu pura ini.
Pada masa-masa awal kemerdekaannya, Indonesia memosisikan turisme sebagai wajah lembut diplomasi budaya. Ia bukan semata industri, tetapi semacam pernyataan: Indonesia, dengan segala keberagaman budayanya, adalah bangsa merdeka yang pantas tampil di panggung dunia. Di titik ini, turisme bersifat representasional: memperkenalkan identitas, mengundang dialog antarbudaya, dan memperkuat posisi Indonesia dalam konstelasi global pascakolonial. Selain itu, upaya untuk mengenmabngkan misi ini juga diiringi dengan penggalian terhadap nilai-nilai lokal yang dimiliki oleh Bali yang dilakukan untuk mempertajam kecintaan sekaligus menggali kekayaan non-fisik yang bisa dipakai sebagai pernyataan tentang jati diri. Kita mungkin ingat dengan misi-misi kebudayaan yang dikirim pada masa pemerintahan Sukarno. Termasuk kesertaan pada expo-expo international yang berlangsung di era awal kemerdekaan. Pada pameran-pameran tersebut, Indonesia dikenalkan ke panggung dunia dan orang diundang untuk datang agar lebih mengenal bangsa yang baru lepas dari kolonialisme.
Namun, seiring waktu dan perubahan arah pembangunan, turisme mengalami transformasi mendasar. Dari alat diplomasi, ia menjelma menjadi mesin ekonomi. Lebih jauh, pariwisata menjadi alat utama dalam skema akumulasi kapital di Bali. Ketika negara melihat turisme sebagai ladang devisa yang menggiurkan, maka arah kebijakan pun berubah. Turisme tidak lagi sekadar tentang budaya dan pertukaran, melainkan tentang pertumbuhan ekonomi, investasi, dan laba. Terjadi pergeseran dari paradigma kualitatif menjadi hal-hal yang lebih terukur secara angka.
Untuk mencapai itu, dibutuhkan modal yang besar. Dibutuhkan infrastruktur mewah, jaringan digital global, konektivitas transportasi, dan kemasan-kemasan budaya yang bisa dijual. Maka negara membuka keran investasi seluas-luasnya. Di tengah angka-angka proyeksi optimistik, pemerintah memiliki keterbatasan anggaran, sehingga investasi dibuka luas. Investor nasional tidak cukup, maka diperlukan keterlibatan pengusaha transnasional. Bali, yang telah lama dikonstruksi sebagai destinasi eksotik sejak zaman kolonial, menjadi komoditas utama.
Bali Sebagai Induk Semang Modal Global
Saat ini, Bali bukan hanya pulau yang dihuni oleh masyarakat relijius berbasis agraris tetapi telah menjelma panggung utama dari jejaring kapitalisme global di sektor turisme. Hotel-hotel internasional, resor mewah, restoran franchise, biro perjalanan asing, hingga platform digital seperti Airbnb menjadikan Bali sebagai titik tumpu sirkulasi modal global di Asia Tenggara.
Namun, transformasi ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Jika kita tarik ke belakang, sejak masa kolonial Belanda, Bali telah dipromosikan secara global sebagai “pulau para dewa” tempat eksotis yang tenang dan spiritual, penuh warna-warni budaya. Imaji ini bukan tumbuh dari bawah, tapi hasil konstruksi kolonial yang mengemas Bali sebagai “kebudayaan yang otentik” suatu kawasan „yang lain“ untuk konsumsi wisatawan Barat. Itulah warisan yang kemudian dipungut kembali oleh negara dan diteruskan dalam format yang lebih modern.
Di era Orde Baru, jejaring kapital global menemukan momentum barunya. Dari tahun 1980-an hingga 1990-an, Bali mengalami bulan madu pertama dengan kapitalisme dunia. Ekspansi ini muncul seiring dengan tuntutan pasar akan “pengalaman otentik”. Upaya untuk mementaskan „yang lain“ serta untuk terus memproduksi „pengalamanan otentik“ ini berujung pada dan dari komodifikasi atas budaya.
Tari tradisional menjadi atraksi rutin, upacara adat dikoreografi ulang agar sesuai durasi dan pencahayaan panggung, arsitektur tradisional direplika untuk keperluan komersial. Nilai-nilai sakral bergeser menjadi nilai jual. “Otentisitas” tidak lagi soal makna, tapi soal kemasan dan estetika.
Lahan: Dari Ruang Hidup ke Ruang Investasi
Logika pertumbuhan kapital menysaratkan perluasan terus-menerus. Maka budaya yang dikomodifikasi tidak cukup. Modal membutuhkan ruang fisik. Dibutuhkan tanah untuk membangun hotel, vila, jalan tol, bandara, dan atraksi baru. Maka proses konversi lahan pun berjalan cepat.
Awalnya, hanya lahan yang dianggap “tidak produktif”. Tapi seiring membengkaknya proyek-proyek besar, lahan pertanian produktif, kawasan pesisir, bahkan hutan adat pun mulai dikorbankan. Tidak jarang, proses akuisisi lahan ini memunculkan konflik horizontal di Masyarakat. Beberapa kasus sempat muncul ke permukaan, misalnya kelompok pro investor dan yang menentang. Ujung-ujungnya, biasanya investasi tetap menang. Para pengolah lahan, para petani dan warga lokal, perlahan-lahan terpinggirkan. Ada yang tergoda menjual. Ada yang dipaksa. Ada yang menyerah karena tekanan ekonomi. Terjadi bentuk-bentuk pengusiran yang tak selalu kasat mata. Pengusiran ini terjadi halus melalui perubahan status lahan, lewat pinjaman bank yang tak terbayar, atau lewat proyek yang dilabeli “pengembangan destinasi”.
Resistensi yang Terus Dipinggirkan
Namun, masyarakat Bali tidak sepenuhnya diam. Sejarah mencatat berbagai bentuk penolakan terhadap ekspansi turisme yang tak terkendali. Proyek reklamasi Pulau Serangan sempat menghadapi penolakan keras dari warga karena ancaman terhadap lingkungan laut dan budaya spiritual. Seorang warga pernah mengugkapkan bahwa penolakan yang dia lakukan berbuah ancaman terhadap keselamatan keluarganya. Rencana pengembangan di Padanggalak, Tanah Lot, dan Bukit Pecatu juga memantik protes.
Puncaknya adalah penolakan terhadap reklamasi Teluk Benoa, yang menjadi simbol perlawanan terbesar dalam sejarah Bali modern. Gerakan "Tolak Reklamasi" menyatukan desa adat, seniman, akademisi, pemuda, hingga aktivis lingkungan. Ini menunjukkan bahwa kesadaran kolektif masih hidup.
Namun, sebagaimana umumnya dalam skema neoliberal, resistensi sering kali hanya memperlambat, tidak pernah benar-benar menghentikan. Ketika protes mereda, proposal-proposal lama muncul kembali dengan kemasan baru. Bahasa naratifnya pun berubah: dari “reklamasi” menjadi “revitalisasi”, dari “investasi swasta” menjadi “pengembangan ekonomi lokal”.
Di Bali, neoliberalisme bekerja dalam sunyi tapi konsisten. Ia tidak selalu menghadirkan kekerasan fisik, tapi menghadirkan kekuasaan melalui retorika, perizinan, wacana pembangunan, dan kooptasi simbol-simbol budaya. Dalam banyak kasus, bahkan lembaga adat dan institusi lokal pun terjebak dalam jaring-jaring ini. Akibatnya, perlawanan terhadapnya menjadi lebih sulit dan terfragmentasi.
Siapa yang Memiliki Bali Hari Ini?
Pertanyaan ini bukan metaforis melainkan sesuatu yang sangat nyata. Ketika ruang-ruang publik berubah menjadi milik privat, ketika budaya lokal menjadi milik kurator pariwisata, ketika sawah dan pantai menjadi hak guna bangunan investor luar, maka kita perlu bertanya: siapa sebenarnya yang memiliki Bali hari ini?
Turisme telah menjadi semacam kuda troya dari ekspansi kapital global. Dalam mitologi Yunani, dikisahkan bahwa Troya sangat sulit ditaklukkan sehingga pasukan Yunani membangun sebuah patung kayu besar berbentuk kuda dan diletakkan di depan gerbang. Orang-orang Troya kegirangan mengira itu adalah hadiah dan membawanya masuk. Setelah ada di dalam gerbang, keluralah pasukan yang bersembunyi di dalam patung raksasa tersebut dan memerangi sekaligus mengalahkan pasukan Troya. Di Bali, pariwisata datang dengan janji kemajuan, tetapi membawa serta sistem nilai yang mengubah cara pandang masyarakat terhadap tanah, budaya, dan masa depan. Yang dianggap “berharga” adalah yang bisa dijual. Segala sesuatu yang tidak bisa dijual bisa jadi akan dipandang sebagai beban.
Yang lebih berbahaya, mungkin, adalah ketika masyarakat sendiri mulai melihat tanah leluhur dan tradisinya melalui kacamata pasar: berapa nilai jualnya? Apakah ini atraktif bagi wisatawan? Apakah ini bisa viral di media sosial?
Melawan dengan Imajinasi Alternatif
Perlawanan terhadap logika kapitalisme global tidak selalu harus muncul dalam bentuk demonstrasi besar. Ia bisa tumbuh dari desa, dari komunitas, dari pendidikan kritis, dari penolakan halus terhadap tawaran modal, dari seni yang tak tunduk pada estetika pasar, dari keputusan untuk tetap menanam padi di atas lahan yang ditawar mahal oleh investor.
Bali hari ini berada dalam persimpangan yang rumit. Di satu sisi, ia bergantung pada turisme. Di sisi lain, ia terancam ditelan oleh turisme itu sendiri. Jalan keluarnya tidak mudah. Tapi satu hal yang pasti: selama masyarakat masih bisa membayangkan masa depan di luar logika pasar, maka perlawanan belum sepenuhnya mati.
Dan barangkali, itulah harapan terbesar kita hari ini. Tugas besar kita mungkin bukan sekadar menolak proyek-proyek besar, tapi merebut kembali hak untuk bermimpi tentang Bali yang adil, lestari, dan milik bersama.
Gede Maha Putra