#

#
By WARC
May 21, 2025
Siapa yang dapat Menghancurkan Bali?
Keputusan ada di tangan orang Bali
Kekuatan terbesar yang bisa merusak warisan budaya, lingkungan, dan kearifan lokal Bali bukanlah faktor eksternal (seperti pariwisata, globalisasi, atau investasi asing), tetapi keputusan dan tindakan dari masyarakat Bali sendiri. Di balik pesatnya perkembangan dan modernisasi, ada risiko besar yang justru datang dari dalam dari keputusan, sikap, dan prioritas masyarakat Bali sendiri.
Rakyat Bali memiliki hak utama untuk menentukan arah pembangunan, kebijakan, dan perubahan yang terjadi di tanah mereka. Keputusan besar terkait masa depan Bali—apakah itu tentang lingkungan, pariwisata, budaya, pembangunan, atau tata ruang—seharusnya berasal dari aspirasi dan kebutuhan masyarakat Bali sendiri, bukan semata-mata dari kepentingan luar.
Budaya yang Dikomersialkan
Bali adalah salah satu tujuan wisata paling terkenal di dunia. Citra Bali yang eksotis, penuh dengan ritual, pura, tarian, dan tradisi spiritual membuat pulau ini menarik bagi wisatawan. Namun, seiring pertumbuhan pariwisata massal, banyak elemen budaya dan tempat suci yang mulai dijadikan daya tarik wisata dan dikomersialkan. Hal ini memicu dilema antara kebutuhan ekonomi (pendapatan dari pariwisata) dan keinginan untuk melindungi serta melestarikan nilai-nilai budaya yang luhur.
Bali dikenal karena budaya dan spiritualitasnya yang kaya. Namun, demi mengejar keuntungan ekonomi dari pariwisata, sering kali budaya dikemas secara "jual-beli", kehilangan makna aslinya. Banyak ritual, areal suci dan seni pertunjukan yang tidak lagi dijalankan karena nilai sakral, tapi demi konsumsi wisatawan.
“Kerusakan tidak terjadi karena wisatawan minta budaya dipertontonkan, tetapi karena orang Bali sendiri yang bersedia menjualnya secara dangkal”.
Lingkungan yang Dieksploitasi
Bali dikenal sebagai pulau dengan keindahan alam yang luar biasa—pantai, gunung, sawah, dan hutan yang menjadi daya tarik utama bagi wisatawan lokal maupun mancanegara. Namun, di balik citra keindahan tersebut, Bali kini menghadapi tantangan serius akibat eksploitasi lingkungan yang terus meningkat. Eksploitasi ini terjadi ketika alam Bali dimanfaatkan secara berlebihan dan tidak berkelanjutan demi kepentingan ekonomi, terutama oleh industri pariwisata dan pembangunan properti
Pembangunan hotel, vila, resort, dan kawasan wisata sering kali menyalahi prinsip keseimbangan alam Bali (Tri Hita Karana). Banyak alih fungsi lahan, penebangan pohon, pencemaran sungai, bahkan reklamasi, yang mengorbankan ekosistem lokal.
Penyebab utama eksploitasi lingkungan di Bali adalah pertumbuhan industri pariwisata yang tidak terkendali, lemahnya pengawasan terhadap tata ruang, dan dominasi investor yang lebih mementingkan keuntungan jangka pendek daripada kelestarian jangka panjang. Masyarakat lokal sering kali tidak dilibatkan secara penuh dalam proses pengambilan keputusan, sehingga suara mereka dalam menjaga tanah leluhur dan lingkungan sekitar kurang terdengar.
‘’Yang memberi izin, menjual tanah, dan membiarkan pelanggaran tata ruang umumnya adalah pihak lokal baik pemilik tanah maupun otoritas setempat.’’
Kearifan Lokal yang Tergerus
Nilai-nilai seperti gotong royong (banjar), keberlanjutan, dan spiritualitas makin tergeser oleh gaya hidup konsumtif dan individualistis. Generasi muda mulai meninggalkan tradisi karena dianggap kuno atau merepotkan.
Bali selama ini dikenal tidak hanya karena keindahan alamnya, tetapi juga karena kekayaan nilai-nilai kearifan lokal yang menjadi dasar kehidupan masyarakatnya. Kearifan lokal seperti sistem subak (pengelolaan air irigasi secara komunal), tri hita karana (tiga keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan), serta kehidupan berbasis desa adat merupakan warisan budaya yang telah menjaga harmoni antara manusia dan alam selama berabad-abad. Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan tekanan dari industri pariwisata, banyak dari kearifan lokal tersebut yang mulai tergerus. Pembangunan vila, hotel, dan resort sering kali mengabaikan prinsip tata ruang adat dan memutus sistem subak yang telah diwariskan secara turun-temurun.
Globalisasi hanya menjadi pemicu. Tapi hilangnya identitas terjadi ketika masyarakat Bali sendiri memilih meninggalkannya.
Pemerintahan dan Kepemimpinan Lokal
Banyak kebijakan yang lebih berpihak pada investasi besar daripada pelestarian ruang hidup dan budaya. Terkadang, para pemimpin lokal lebih fokus pada pertumbuhan ekonomi jangka pendek daripada menjaga warisan jangka panjang.
Pemerintahan dan kepemimpinan lokal Bali memegang peranan kunci dalam menentukan arah masa depan pulau ini, baik dari segi pembangunan, pelestarian budaya, maupun perlindungan lingkungan. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, banyak kebijakan dan keputusan yang diambil justru memicu kekhawatiran publik karena dinilai tidak berpihak pada kepentingan jangka panjang masyarakat dan kelestarian Bali itu sendiri.
Proyek-proyek besar seperti pembangunan resort di kawasan suci, reklamasi pantai, dan izin properti di lahan pertanian menunjukkan adanya kecenderungan mengutamakan investasi dan keuntungan ekonomi jangka pendek tanpa mempertimbangkan dampak sosial, budaya, dan ekologis. Selain itu, lemahnya pengawasan terhadap tata ruang dan maraknya alih fungsi lahan menunjukkan bahwa pengelolaan pembangunan belum sepenuhnya berpihak pada nilai-nilai lokal dan kearifan Bali.
Beberapa pemimpin lokal juga dinilai terlalu dekat dengan kepentingan investor, sementara suara masyarakat adat dan kelompok pemerhati lingkungan sering diabaikan. Jika arah kepemimpinan seperti ini terus berlanjut, maka masa depan Bali terancam menjadi ruang komersial belaka, kehilangan ruh spiritual dan keseimbangan alam yang selama ini menjadi kekuatannya. Diperlukan keberanian politik dan ketegasan dari pemimpin Bali untuk mengutamakan keberlanjutan, keadilan sosial, dan pelestarian budaya sebagai fondasi utama pembangunan ke depan.
Ini menunjukkan bahwa kerusakan sistemik bisa terjadi ketika nilai ekonomi ditempatkan lebih tinggi daripada nilai spiritual dan budaya — oleh keputusan orang dalam sendiri.
Justru masyarakat Bali yang paling memahami tanahnya, budayanya, dan jiwanya, adalah pihak yang paling berkuasa sekaligus paling bertanggung jawab atas masa depan pulau ini.